Posted by
Rama Van Basten
under
romantis
Hujan itu romatis
"Menurutku, itulah cara langit menyampaikan rindu kepada bumi, mereka
tak pernah bertemu, hanya bisa saling menatap dari kejauhan. Hujan
seolah berlari menderu berkejaran menciumi bumi, memecah kerinduan yang
teramat lama terpendam."
"Seperti sekarang, saat aku dan kamu berjalan bersisihan, berbagi payung
berlindung dari hujan. Tak ada jarak antara kita, begitu dekat. Hujan
mendekatkan kita, bukan? Ini juga sisi romatis dari hujan."
Posted by
Rama Van Basten
under
Sore ini masih kulihat semburat kemerahan sang Mentari yang mulai
tenggelam di garis cakrawala. Aku sendiri, menatap langit yang meredup
kehilangan cahayanya sedikit demi sedikit. Masih terekam dalam ingatanku
semua pertanyaan sangsimu padaku.
Apakah kita akan seperti ini terus, kau bertanya.
Aku tahu maksud pertanyaanmu tapi aku pura-pura tak tahu.
Kau pun berprasangka bahwa aku sudah tidak mencintaimu lagi.
Sesungguhnya kekasihku, aku pun tidak tahu-menahu apa itu arti cinta. Tahukah engkau?
Aku tahu kau dan aku terjebak. Kita berdua telah terlanjur masuk ke
dalam kehidupan masing-masing tanpa ada lagi sekat. Tapi aku pun tahu
aku tak bisa menjanjikanmu apa-apa. Lebih tepatnya, aku tak mampu.
Bukankah dari awal pertama kedekatan kita aku telah memberitahumu. I don’t do commitment honey. Kau
pun mengiyakan tak akan menuntut apapun dariku. Beginilah hidup yang
aku inginkan, mengalir seperti air. Tapi semakin lama tampaknya kau
semakin tak sabar.
Apakah gerangan kekasihku yang membuatmu jengah akhir-akhir ini, suatu kali aku pernah bertanya padamu.
Sesaat kau terdiam, dengan lembut kau kecup keningku dan mulai berkata.
Bagaimana aku bisa mengetahui bahwa seseorang mencintaiku jika orang yang aku cintai pun pura-pura tak mengerti makna cinta.
Bagaimana aku bisa tahu seseorang ingin menghabiskan sisa waktunya denganku jika orang yang aku mau tak mampu berjanji setia.
Tahukah kau kekasihku, di balik senyum getirku menanggapi ucapanmu
saat itu hatiku bergemuruh. Aku tak tahu bagaimana dan mengapa. Aku
benci rasa itu. Dari dulu aku selalu menolaknya. Sebisa mungkin akan ku
kubur hingga ke dasar bumi yang terdalam.
Tahukah kau kekasihku, kau satu-satunya orang yang dapat membuatku
nyaman. Aku selalu ingin berada di dekatmu. Tapi mengapa di suatu pagi
yang cerah, kau sempat menanyakan apakah aku bahagia berada di dekatmu.
Tentu saja. Tapi aku tak sanggup bersuara, biarlah hanya menggema di
dalam dada.
Tak bisakah kau lihat dari caraku memandangmu wahai kekasihku.
Tak bisakah kau rasakan dari caraku memperlakukanmu wahai kekasihku.
Aku kira setelah sekian lama kita bersama kau akan memahami bahwa
setiap gerak-gerikku adalah ucapan kasih sayang. Kau hanya memelukku
erat, seakan tak mengijinkanku pergi walau sedetikpun. Dan aku pun
terbuai, tak ingin melepasmu.
Malam telah datang saat kita bertemu di taman itu. Hanya kita berdua,
yang lain serasa hampa. Kau tak berbicara sepatah katapun semenjak kita
bertemu. Aku termangu, tak ingin memulai pembicaraan. Dan kau pun hanya
memandangi pohon mahoni yang tumbuh dengan gagahnya di pojok taman. Aku
bertanya-tanya, apa yang ada di pikiranmu kala itu. Tapi aku sungkan,
aku hanya mengawasimu dalam diam.
Gelap telah datang kekasihku, namun aku tetap tak mau beranjak.
Tertunduk aku tak ingin melihat malam gelap jika tanpamu kekasihku.
Lagi-lagi aku teringat percakapan kita sebulan yang lalu.
Untuk pertama kalinya aku memulai pembicaraan kita di tengah senja.
Jika kau ingin sebuah ikatan pasti yang mengikat, aku tidak masalah.
Tapi tidak denganku. Carilah seseorang yang bisa memberimu cinta dan
kepastian yang tak dapat aku berikan.
Kau seseorang yang menawan, cerdas, santun dan sempurna di mata setiap orang.
Tidakkah kau sadari itu kekasihku.
Kau bisa dapatkan siapapun yang kau suka.
Pilihlah salah satu diantara mereka yang kau anggap memenuhi kriteriamu.
Tiba-tiba kau menamparku, sangat keras. Aku terkejut. Tidak, bukan
hanya raga ini, tapi hingga ke lubuk hatiku yang paling dalam. Aku
tergetar. Diam-diam aku menyesal. Tapi sekali lagi aku hanya menjadi
budak dari keegoisanku sendiri. Aku hanya bisu melihatmu pergi tanpa
pernah memintamu untuk kembali.
Tahukah kau kekasihku. Semenjak kejadian itu aku banyak merenung dan
menghabiskan waktuku sendiri. Aku bertanya-tanya pada diri ini, mengapa
aku tak bisa memberi apa yang kau pinta. Apakah aku telah termakan oleh
sejarah hidupku sendiri. Aku hanya berkaca pada apa yang aku alami.
Egoiskah itu?
Tengoklah ibuku yang menderita sepi di kala tua dan menahan hinaan di
masa muda. Lihatlah ayahku yang selalu mencipratkan spermanya di banyak
wanita tanpa memikirkan ibuku yang menahan luka. Aku tak ingin seperti
mereka. Aku menyayangimu, sungguh aku tak berdusta. Tapi mengapa aku
takut mengatakan cinta. Tak pernah terbersit di benakku untuk mencium
bibir selain bibirmu duhai kekasihku. Tapi mengapa aku sulit untuk
berkata setia. Kau menuntut ikatan yang lebih suci karena agama, demi
bumi yang kupijak aku ingin bersumpah dan mengatakan “iya”. Namun aku
hanya diam seribu bahasa.
Akupun tersadar. Seakan-akan aku baru terbangun dari mimpi yang
sangat panjang. Pikiranku kembali tenang dan waras. Sudah kumantapkan
dalam hati, hari ini aku akan memberimu kejutan setelah sebulan lamanya
tak bertemu. Kakiku ringan melangkah keluar dari rumah ini. Suatu saat
kau akan ada disini hidup bersamaku. Bisikku dalam hati.
Aku membeli sebuah kotak perhiasan kecil yang aku selipkan sebuah
cincin mungil seukuran jarimu. Aku juga berencana membeli bunga lili
kesukaanmu, tapi kurasa itu berlebihan untuk sebuah kejutan dari
seseorang seperti diriku.
Wahai kekasihku, tak tahukah kau pagi ini akan kukabulkan semua inginmu.
Wahai kekasihku, tak tahukah kau begitu bahagianya hatiku membayangkan reaksimu saat kuketuk pelan pintu rumahmu.
Gelap bergelung suram dan dingin menyerangku. Entah sudah berapa lama
aku berdiri disini terpaku. Hanya ditemani oleh nyanyian serangga malam
yang berselang-seling. Sekali lagi aku dikhianati kehidupan.
Tadi pagi baru aku tahu betapa egoisnya dirimu, bahkan melebihi
keegoisanku. Betapa munafiknya dirimu, bahkan melebihi kemunafikanku.
Kau jadikan abu semua kebulatan tekad yang aku bangun bersusah payah
hanya dalam hitungan sepersekian detik.
Tak akan ada tangis untukmu kekasihku.
Tak akan ada sebutir air mata pun yang akan jatuh demimu.
Ragaku telah kau lumpuhkan.
Jiwaku telah kau cabut.
Lalu untuk apa lagi aku hidup.
Tapi ada yang ingin aku sampaikan kepadamu untuk terakhir kalinya kekasihku.
Aku ingin mengatakan bahwa aku mencintaimu.
Aku ingin menikahimu dan menghabiskan sisa waktu berdua denganmu.
Bukankah itu dulu yang selau kau inginkan.
Rintik-rintik kecil hujan datang tanpa permisi. Dapat kulihat bekas
galian yang telah ditimbun tanah membentuk gundukan di sebelahku. Aku
tahu aku tak mungkin terus berada disini. Sebuah ironi yang hambar, dulu
kau yang takut kutinggalkan tapi kini kenyataan berkata sebaliknya.
Tapi ijinkan aku menciummu kekasihku. Ijinkan aku mencium pusaramu untuk
terakhir kali, sebelum aku pergi dari peristirahatanmu dan kembali
sendiri.